Senin, 04 Juni 2018

pemikiran ibnu arabi,al farabi dan almawardi


Pemikiran Politik Ibnu Arabi, Al Farabi dan Al Mawardi
Disusun oleh :
Lara Setya Putri (1617020058)
Jujun Trius (1627020054)
Firmansyah Putra F. (1657020040)
Imroatul Azizah (1657020047)
Kurniawan (1657020057)
M. Ramadhan Ilham P. (1657020063)
M. Shandika Putra (1657020069)

Mata Kuliah : Islam dan Negara
Dosen Pengampu :
Alva Beriansyah, S.IP, M.

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSI
AL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN FATAH PALEMBANG
2018
KATA PENGANTAR
           Assalamua’alaikum,Wr.Wb
           Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dengan rahmat-Nya lah akhirnya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judul “Pemikiran Politik Ibnu Arabi, Al Farabi, Al Mawardi”. Tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Negara pada semester IV.         
          Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam penulisan makalah ini, kepada dosen mata kuliah Islam dan Negara, serta semua pihak yang turut membantu menyelesaikan makalah ini.
         Karena keterbatasan pengetahuan penulis maka penulisan makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini.
         Dengan segala pengharapan dan do’a semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
        Wassalamu’alaikum,Wr.Wb

                                                                  Palembang, 14 April 2018


                                                                                                     Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang.................................................................................... 1
2.      Rumusan Masalah............................................................................... 2
3.      Tujuan.................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
1.      Ibn Arabi.............................................................................................. 3
a)      Wahdatul Wujud............................................................................ 3
b)      Insan Kamil.................................................................................... 3
2.      Al Farabi............................................................................................... 6
a)      Setting Sosial Politik Al Farabi...................................................... 6
b)      Pemikiran Sosial Politik................................................................. 6
3.      Al Mawardi.......................................................................................... 9
a)      Setting Sosial Politik Al Mawardi................................................. 9
b)      Pemikiran Politik.........................................................................   10

BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan .......................................................................................  11

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan poltik.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya menjadi perdebatan sengit dikalangan pemikir politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan Rasululllah dalam kepemimmpinan agama dan politik.
Kemudian berbagai peristiwa-peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib menjadi perstiwa-peristiwa penting bagi umat Islam. Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menjadi puncak perdebatan politik dikalangan umat Islam.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dikalangan umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran politk dimasa-masa selanjutnya, yang merupakan respon terhadap peristiwa dan hasil refleksi para pemikir politik. Munculnya sejumlah pemikir politik islam. Seperti Ibn Araby, Al Farabi, Al Mawardi,  Al Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun.
Pemikiran politik Islam dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik (hingga tahun 1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M) dan periode modern (1800-sekarang). Perkembangan pemikiran politik Islam juga dapat dibagi berdasarkan periodesasi sejarah tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pemikiran Politik Ibn Arabi?
2.      Bagaimana Pemikiran Politik Al Farabi?
3.      Bagaimana Pemikiran Politik Al Mawardi?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Pemikiran Politik Ibn Arabi
2.      Mengetahui Pemikiran Politik Al Farabi
3.      Mengetahui Pemikiran Politik Al Mawardi




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ibn Arabi
Ibnu ‘Arabi, yang nama lengkapnya adalah Abu Bakr ibnu ‘Ali Muhyiddin al-Hatimi at-Ta‘i al-Andalusi, dilahirkan di Murcia, Sepanyol Tenggara, pada tanggal 17 Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M. Di wilayah Islam bagian timur khususnya, dia dikenal dengan julukan Syaikhul-Akbar (Doktor Maximus), sedangkan di Sepanyol sendiri dikenal dengan nama Ibnu Suraqah.

Pemikiran Ibn Arabi
Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang lebih sering dimasukkan dalam kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof – seperti halnya AE. Affifi yang memandang Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat – maka tidaklah mudah untuk menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara tasawuf dan filsafat. Beberapa hal pemikiran ibnu Arabi yang menunjukkan tentang aliran yang beliau jalankan sebagaimana berikut[1] :
a)      Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut ulama klasik ada yang mengartikan wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilustrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat) tuhan.
Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut  menjadi haq–Tuhan–. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq. Menurutnya alam adalah penampakan (tajjli) Tuhan, dengan demikian segala sesuatu adalah entifikasi-Nya. Tuhan dan semesta keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan kontradiksi-kontradiksi ontologis, kontrdiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal, tetapi juga bersifat vertikal. Sebagaimana dalam uraian al-Qur’an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathin), sekaligus Yang Tampak (al-Dzahir), Yang Esa (al-Wahid), Yang Banyak (al-Katsir), Yang Terdahulu (al-Qadim), sekaligus Yang Baru (al-Hadits), Yang Ada (al-Wujud), sekaligus Yang Tiada (al-‘Adam).
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu : Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal, Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya,  Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan atau terbagikan dan seragam.



b)     Insan Kamil (manusia sempurna)
Doktrin insan kamil dalam tasawuf Ibnu Arabi, selain terkait erat dengan doktrin wahdatul wujud dari inti ajaran tasawuf ibnu arabi. Bahwa manusia mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhan, menjadikan manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia adalah totalitas alam. Karena itu, manusia disebut miniatur alam. Manusia atau tepatnya manusia sempurna adalah perpaduan semua nama dan sifat tuhan serta semua realitas.
Dalam konsep al-Insan al-Kamil yaitu merenungkan penampakan wajah Ilahi menampakkan wajah Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh kudus dari wujud itu. Visi ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan suatu bentuk (hadharat) tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi. Yaitu hal yang esensial bagi wujud Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan yang tak terbatas untuk memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas.
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila Muhammad mati sebagai tubuh, namun nur Muhammad tetap ada.  Sebab dia sebagian dari tuhan. Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Proses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi manusia sempurna adalah al-takhalluq bi ahlakillah (berahlak dengan ahlak Allah), yaitu berahlak dengan nama-nama Allah SWT. Takhalluq adalah membuat nama tuhan yang berbentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi aktual. Dengan ketaatan mutlak kepada tuhan, ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah (penghambaan).
Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia  adalah bersifat tetap dalam hal esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan penyingkapan diri tuhan.

B.     Al Farabi
Setting Sosial Politik Al Farabi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Utrar (Farab) pada tahun 257 H/870 M, dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.
Al Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh filsuf Islam yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, dan memandang filsafat secara utuh, sehingga filsuf Islam yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Ia berusaha untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles melalui risalahnya al-Jam’u Baina Ra’yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu. Dalam bidang filsafat, ia digelari dengan al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua), sedang yang digelari sebagai al-Mu’allim al-awwal (Guru Pertama) ialah Aristoteles.

Pemikiran Sosial dan Politik
Al-Farabi adalah filsuf Islam yang paling banyak membicarakan masalah kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Adapun tujuan hidup bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga spiritual, tidak saja di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Pendapat al-Farabi ini memperlihatkan pengatuh keyakinan agamanya sebagai sebagai seorang Islam di samping pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moral, akhlak, atau budi pekerti. Dari kecenderungan hidup bermasyarakat inilah muncul lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan negara. Masalah kemasyarakatan banyak dibicarakannya dalam karya-karyanya antara lain: al-Siyasah al-Madaniyah (Politik Kekotaan, Politik Kenegaraan) dan Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota/Negara Utama).[2]

1.      Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Al Farabi menyatakan, bahwa bagian suatu negeri sangat erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama, laksana anggota badan. Apabila salah satunya sakit, maka anggota-anggota lainnya akan ikut merasakannya pula. Setiap anggota badan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dengan kekuatan dan tingkat kepentingan yang tidak sama. Keseluruhan anggota tubuh yang beragam ini dipimpin oleh satu anggota yang paling penting, yaitu hati atau akal. Hati merupakan salah satu anggota badan yang paling baik dan sempurna.
Demikian juga halnya dengan Negara Utama. Ia mempunyai warga-warga dengan fungsi dan kemampuan yang tidak sama satu dengan lainnya. Kebahagiaan bagi satu masyarakat tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali apabila ada pembagian kerja yang berbeda, sesuai dengan keahlian dan kecakapan anggotanya dengan dijiwai oleh rasa setia kawan dan kerja sama yang baik. Semua warga negara yang beragam tadi dipimpin oleh seorang Kepala Negara, seperti halnya hati memimpi seluruh anggota badan.
Menurut Al Farabi, Kepala Negara Utama (Ra’is al-Madinah al-Fadhilah), itu haruslah seorang filsuf yang mendapatkan kearifan melalui pikiran dan rasio ataupun melalui wahyu. Ia haruslah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan memiliki dua belas sifat atau syarat, yang sebagian telah ada pada pemimpin itu sejak lahir sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitrah. Tetapi, sebagian lainnya masih perlu ditumbuhkan melalui pendidikan serta latihan yang menyeluruh. Oleh karenanya, pembinaan dan pembentukan pribadi pemimpin sangat diperlukan.
Adapun dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara[3], antara lain: 1) lengkap anggota badannya; 2) baik daya pemahamannya; 3) tinggi intelektualitasnya dan kuat daya ingatannya; 4) cerdik dan pintar; 5) pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; 6) cinta kepada ilmu pengetahuan; 7) tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani; 8) cinta kejujuran dan benci kebohongan; 9) berjiwa besar dan berbudi luhur; 10) cinta keadilan dan benci kezaliman;11) kuat pendirian; dan 12) tidak terikat pada materi dan uang.

2.      Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah)
Disampingg negara utama yang dikemukakan al-Farabi di atas terdapat pula empat macam negara yang rusak, yang bertentangan dengan Negara Utama, yaitu:
1)      Negara bodoh (al-Madinah al-Jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan ini tidak pernah terlintas dalam hatinya. Kalaupun diingatkan, mereka tidak mempercayainya. Kebaikan menurut mereka yaitu badan sehat, harta yang cukup, dapat merasakan kesenangan lahiriah, sedangkan kebalikan dari hal tersebut adalah kesengsaraan.
2)      Negara fasik (al-Madinah al-Fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal kebagahagiaan, Tuhan dan akal, seperti penduduk negeri utama. Akan tetapi, tingkah laku mereka sama dengan tingkah laku negara bodoh. Dengan demikian, apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang mereka ucapkan.
3)      Negara sesat (al-Madinah al-Dhallah), yaitu negara yang penduduknya mempunyai pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal. Meskipun demikian, kepala negaranya menganggap bahwa dirinya mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain dengan ucapan dan tingkah lakunya.
4)      Negara yang berubah (al Madinah al-Mutabaddilah) adalah negara yang pada awalnya mempunyai pikiran yang sama seperti pemikiran penduduk negera utama, akan tetapi kemudian mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman yang membawa mereka kepada kerusakan pada pikirannya.

Negara sebagaimana tersebut di atas sebenarnya hanya ada dalam khayalan Al Farabi, sehingga terlihat bahwa konsepsi-konsepsi politiknya lebih banyak bersifat teoretis daripada realistis-pragmatis. Hal ini memang dapat dimaklumi karena ia sendiri hanyalah seorang ahli pikir yang dalam dan luas.

C.    Al-Mawardi
Setting Sosial Politik Al-Mawardi
Abu al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, demikian nama lengkap al-Mawardi, (364-450/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi disintegrasi politik dalam pemerintahan daulat bani Abbas. Pada masa itu, Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan bani Abbas tidak mampu membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dari bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini akhirnya memunculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaan bani Abbas. Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah bani Abbas sangat lemah. Mereka menjadi boneka dari ambisi politik dan persaingan antara pejabat-pejabat tinggi negara dan para panglima militer bani Abbas. Khalifah sama sekali tidak berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang berkuasa adalah para menteri bani Abbas yang pada umumnya bukan berasal dari bangsa Arab, melainkan dari bangda Turki dan Persia.

Pemikiran Politik al-Mawardi
Menurut al-Mawardi, imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia.
Al-Mawardi berpendapat bahwa pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsure, yaitu ahl al-ikhtiyar atau orang yang berwenang untuk memilih kepala negara, dan ahl al-imamah atau orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu: adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya kemampuan menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy. Ahl al-ikhtiyar inilah yang dalam teori al-Mawardi disebut ahl al-hall wa al-‘aqd (orang-orang yang dapat melepas dan mengikat). Kepala negara dipilih berdasarkan kesepakatan mereka.
Menurut al-Mawardi, secara garis besar ada sepuluh tugas dan kewajiban kepala negara terpilih[4], yaitu: 1) memelihara agama; 2) melaksanakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya; 3) memelihara keamanan  dalam negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman; 4) menegakkan hudud; 5) membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi negara dari serangan musuh; 6) melakukan jihad terhadap orang yang menolak ajaran Islam setelah diajak; 7) memungut harta fai’ dan zakat dari orang yang wajib membayarnya; 8) membagi-bagikannya kepada yang berhak; 9) menyampaikan amanah; dan 10) memerhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya terhadap mesyarakat dan pemeliharannya terhadap agama.
Namun demikian, al-Mawardi juga menegaskan kemungkinan tidak bolehnya umat taat kepada kepala negara apabila pada dirinya terdapat salah satu dari tiga hal, yaitu: 1) menyimpang dari keadilan (berbuat fasik); 2) kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya dan 3) dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau ditawan oleh musuh.
Menurut al-Mawardi, ada dua kemungkinan akibat bila kepala negara dikuasai oleh orang-orang dekat atau para “pembisiknya”. Kalau orang-orang dekatnya menguasainya tetapi masih menjalankan kebaikan dan tidak menyusahkan rakyat, maka kepala negara tetap dibiarkan dalam jabatannya. Tetapi, bila tindakan dan perbuatan orang-orang dekatnya sudah menyimpang dari agama dan keadilan, maka mereka harus ditindak. Demikian juga kalau kepala negara ditawan musuh dan tidak dapat melepaskan diri, maka umat Islam harus segera mencari penggantinya untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga tidak terjadi kevakuman politik.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ø  Ibnu Arabi
Beberapa hal pemikiran ibnu Arabi yang menunjukkan tentang aliran yang beliau jalankan sebagaimana berikut :
a)      Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut ulama klasik ada yang mengartikan wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.
b)      Insan Kamil
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila Muhammad mati sebagai tubuh, namun nur Muhammad tetap ada.  Sebab dia sebagian dari tuhan. Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.

Ø  Al Farabi
Adapun dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara, antara lain: 1) lengkap anggota badannya; 2) baik daya pemahamannya; 3) tinggi intelektualitasnya dan kuat daya ingatannya; 4) cerdik dan pintar; 5) pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; 6) cinta kepada ilmu pengetahuan; 7) tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani; 8) cinta kejujuran dan benci kebohongan; 9) berjiwa besar dan berbudi luhur; 10) cinta keadilan dan benci kezaliman;11) kuat pendirian; dan 12) tidak terikat pada materi dan uang.

Ø  Al Mawardi
Menurut al-Mawardi, secara garis besar ada sepuluh tugas dan kewajiban kepala negara terpilih, yaitu: 1) memelihara agama; 2) melaksanakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya; 3) memelihara keamanan  dalam negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman; 4) menegakkan hudud; 5) membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi negara dari serangan musuh; 6) melakukan jihad terhadap orang yang menolak ajaran Islam setelah diajak; 7) memungut harta fai’ dan zakat dari orang yang wajib membayarnya; 8) membagi-bagikannya kepada yang berhak; 9) menyampaikan amanah; dan 10) memerhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya terhadap mesyarakat dan pemeliharannya terhadap agama.

















DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, (2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Aufa, (2016). Ibnu Arabi (Corak Pemikiran Ibnu Arabi), https://diaryofaufa.blogspot.co.id. Diakses tanggal 14 Aprill 2018.










[1] Aufa, Ibnu Arabi (Corak Pemikiran Ibnu Arabi), https://diaryofaufa.blogspot.co.id. Diakses tanggal 14 Aprill 2018
[2] Muhammad Iqbal. (2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, Cet, ke-2, hal.11
[3] Ibid., hal. 13
[4] Ibid., hal. 19                                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar