“Pemikiran Politik Ibnu Arabi, Al Farabi dan Al
Mawardi”

Disusun oleh :
Lara Setya Putri
(1617020058)
Jujun Trius
(1627020054)
Firmansyah Putra
F. (1657020040)
Imroatul Azizah
(1657020047)
Kurniawan
(1657020057)
M. Ramadhan
Ilham P. (1657020063)
M. Shandika
Putra (1657020069)
Mata Kuliah : Islam dan Negara
Dosen Pengampu : Alva Beriansyah, S.IP, M.
PROGRAM
STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2018
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2018
KATA PENGANTAR
Assalamua’alaikum,Wr.Wb
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dengan rahmat-Nya lah akhirnya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judul “Pemikiran Politik Ibnu Arabi, Al Farabi, Al Mawardi”. Tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Negara pada semester IV.
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dengan rahmat-Nya lah akhirnya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judul “Pemikiran Politik Ibnu Arabi, Al Farabi, Al Mawardi”. Tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Negara pada semester IV.
Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis
mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan
kelancaran dalam penulisan makalah ini, kepada dosen mata kuliah Islam dan
Negara, serta semua pihak yang turut membantu menyelesaikan makalah ini.
Karena keterbatasan pengetahuan
penulis maka penulisan makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan
makalah ini.
Dengan segala pengharapan dan do’a
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi
pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum,Wr.Wb
Palembang,
14 April 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang....................................................................................
1
2.
Rumusan
Masalah...............................................................................
2
3.
Tujuan..................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
1. Ibn Arabi..............................................................................................
3
a)
Wahdatul Wujud............................................................................
3
b)
Insan Kamil....................................................................................
3
2. Al Farabi............................................................................................... 6
a)
Setting Sosial Politik Al Farabi......................................................
6
b)
Pemikiran Sosial Politik.................................................................
6
3. Al Mawardi..........................................................................................
9
a)
Setting Sosial Politik Al Mawardi.................................................
9
b)
Pemikiran Politik......................................................................... 10
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan ....................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemikiran politik
Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting
sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah
bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi
umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan poltik.
Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan
antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti
Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya menjadi perdebatan sengit dikalangan
pemikir politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan Rasululllah
dalam kepemimmpinan agama dan politik.
Kemudian berbagai
peristiwa-peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang
diperlihatkan oleh Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi
Thalib menjadi perstiwa-peristiwa penting bagi umat Islam. Yang
paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali
dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menjadi puncak perdebatan
politik dikalangan umat Islam.
Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi dikalangan umat Islam telah melahirkan
pemikiran-pemikiran politk dimasa-masa selanjutnya, yang merupakan respon
terhadap peristiwa dan hasil refleksi para pemikir politik. Munculnya sejumlah
pemikir politik islam. Seperti Ibn Araby, Al Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun.
Pemikiran politik
Islam dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik (hingga tahun 1250 M),
periode pertengahan (1250-1800 M) dan periode modern (1800-sekarang).
Perkembangan pemikiran politik Islam juga dapat dibagi berdasarkan periodesasi
sejarah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pemikiran Politik Ibn Arabi?
2.
Bagaimana Pemikiran Politik Al Farabi?
3.
Bagaimana Pemikiran Politik Al Mawardi?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Pemikiran Politik Ibn Arabi
2.
Mengetahui Pemikiran Politik Al Farabi
3.
Mengetahui Pemikiran Politik Al Mawardi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ibn Arabi
Ibnu
‘Arabi, yang nama lengkapnya adalah Abu Bakr ibnu ‘Ali Muhyiddin al-Hatimi
at-Ta‘i al-Andalusi, dilahirkan di Murcia, Sepanyol Tenggara, pada tanggal 17
Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M. Di wilayah Islam bagian timur khususnya, dia
dikenal dengan julukan Syaikhul-Akbar (Doktor Maximus), sedangkan di Sepanyol
sendiri dikenal dengan nama Ibnu Suraqah.
Pemikiran Ibn Arabi
Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang lebih sering dimasukkan
dalam kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada
yang menyebutnya sebagai seorang filosof – seperti halnya AE. Affifi yang
memandang Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat – maka tidaklah mudah untuk
menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara
tasawuf dan filsafat. Beberapa hal pemikiran ibnu Arabi yang menunjukkan
tentang aliran yang beliau jalankan sebagaimana berikut[1]
:
a)
Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan
al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud
adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut
ulama klasik ada yang mengartikan wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak
dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan
sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, subtansi
(hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak dan yang bathin, antara alam
dan Allah.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap.
Ibnu Arabi memberikan ilustrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan
alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau
perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk
yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat) tuhan.
Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk–
dan lahut menjadi haq–Tuhan–. Khalq dan haq
adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan
aspek yang sebelah dalam disebut haq. Menurutnya alam adalah penampakan
(tajjli) Tuhan, dengan demikian segala sesuatu adalah entifikasi-Nya. Tuhan dan
semesta keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan
kontradiksi-kontradiksi ontologis, kontrdiksi-kontradiksi ini tidak hanya
bersifat horisontal, tetapi juga bersifat vertikal. Sebagaimana dalam uraian
al-Qur’an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathin), sekaligus Yang
Tampak (al-Dzahir), Yang Esa (al-Wahid), Yang Banyak (al-Katsir), Yang
Terdahulu (al-Qadim), sekaligus Yang Baru (al-Hadits), Yang Ada (al-Wujud),
sekaligus Yang Tiada (al-‘Adam).
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan
bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu.
Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten).
Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being
and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan
bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu : Bahwa semua yang ada adalah zat
tunggal, Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya, Bahwa
tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab
itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang
secara mutlak tak terpecahkan atau terbagikan dan seragam.
b) Insan Kamil (manusia sempurna)
Doktrin insan kamil dalam tasawuf Ibnu Arabi, selain terkait erat
dengan doktrin wahdatul wujud dari inti ajaran tasawuf ibnu arabi. Bahwa
manusia mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat tuhan. Konsekuensi
ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakkan
dirinya pada alam sebagai keseluruhan, menjadikan manusia mencakup pula semua
realitas alam. Manusia adalah totalitas alam. Karena itu, manusia disebut
miniatur alam. Manusia atau tepatnya manusia sempurna adalah perpaduan semua
nama dan sifat tuhan serta semua realitas.
Dalam konsep al-Insan al-Kamil yaitu merenungkan penampakan wajah
Ilahi menampakkan wajah Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh
kudus dari wujud itu. Visi ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan
suatu bentuk (hadharat) tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi.
Yaitu hal yang esensial bagi wujud Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan
yang tak terbatas untuk memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas.
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah,
apabila Muhammad mati sebagai tubuh, namun nur Muhammad tetap ada. Sebab
dia sebagian dari tuhan. Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana
al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan
sifat-sifat-Nya.
Proses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi manusia
sempurna adalah al-takhalluq bi ahlakillah (berahlak dengan ahlak Allah), yaitu
berahlak dengan nama-nama Allah SWT. Takhalluq adalah membuat nama tuhan yang
berbentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi aktual. Dengan
ketaatan mutlak kepada tuhan, ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah
(penghambaan).
Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia
melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui
pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan
nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia adalah bersifat tetap dalam hal
esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai
transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan
penyingkapan diri tuhan.
B.
Al Farabi
Setting Sosial Politik Al Farabi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas
ibn Auzalagh, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Utrar (Farab) pada tahun
257 H/870 M, dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia
80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.
Al Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh
filsuf Islam yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, dan memandang
filsafat secara utuh, sehingga filsuf Islam yang datang sesudahnya, seperti
Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Ia
berusaha untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles
melalui risalahnya al-Jam’u Baina Ra’yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu.
Dalam bidang filsafat, ia digelari dengan al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua),
sedang yang digelari sebagai al-Mu’allim al-awwal (Guru Pertama) ialah
Aristoteles.
Pemikiran Sosial
dan Politik
Al-Farabi adalah filsuf Islam yang paling banyak
membicarakan masalah kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang
berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia
adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat,
karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Adapun tujuan hidup bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan
kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga spiritual, tidak
saja di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Pendapat al-Farabi ini
memperlihatkan pengatuh keyakinan agamanya sebagai sebagai seorang Islam di
samping pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan
moral, akhlak, atau budi pekerti. Dari kecenderungan hidup bermasyarakat inilah
muncul lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan negara. Masalah
kemasyarakatan banyak dibicarakannya dalam karya-karyanya antara lain: al-Siyasah al-Madaniyah (Politik
Kekotaan, Politik Kenegaraan) dan Ara’
ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota/Negara
Utama).[2]
1.
Negara
Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Al
Farabi menyatakan, bahwa bagian suatu negeri sangat erat hubungannya satu sama
lain dan saling bekerja sama, laksana anggota badan. Apabila salah satunya
sakit, maka anggota-anggota lainnya akan ikut merasakannya pula. Setiap anggota
badan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dengan kekuatan dan tingkat
kepentingan yang tidak sama. Keseluruhan anggota tubuh yang beragam ini
dipimpin oleh satu anggota yang paling penting, yaitu hati atau akal. Hati
merupakan salah satu anggota badan yang paling baik dan sempurna.
Demikian
juga halnya dengan Negara Utama. Ia mempunyai warga-warga dengan fungsi dan
kemampuan yang tidak sama satu dengan lainnya. Kebahagiaan bagi satu masyarakat
tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali apabila ada pembagian kerja yang
berbeda, sesuai dengan keahlian dan kecakapan anggotanya dengan dijiwai oleh
rasa setia kawan dan kerja sama yang baik. Semua warga negara yang beragam tadi
dipimpin oleh seorang Kepala Negara, seperti halnya hati memimpi seluruh
anggota badan.
Menurut
Al Farabi, Kepala Negara Utama (Ra’is
al-Madinah al-Fadhilah), itu haruslah seorang filsuf yang mendapatkan
kearifan melalui pikiran dan rasio ataupun melalui wahyu. Ia haruslah seorang
pemimpin yang arif, bijaksana dan memiliki dua belas sifat atau syarat, yang
sebagian telah ada pada pemimpin itu sejak lahir sebagai watak yang alami atau
tabiat yang fitrah. Tetapi, sebagian lainnya masih perlu ditumbuhkan melalui
pendidikan serta latihan yang menyeluruh. Oleh karenanya, pembinaan dan
pembentukan pribadi pemimpin sangat diperlukan.
Adapun
dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara[3],
antara lain: 1) lengkap anggota badannya; 2) baik daya pemahamannya; 3) tinggi
intelektualitasnya dan kuat daya ingatannya; 4) cerdik dan pintar; 5) pandai
mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; 6) cinta kepada ilmu
pengetahuan; 7) tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani; 8) cinta kejujuran
dan benci kebohongan; 9) berjiwa besar dan berbudi luhur; 10) cinta keadilan
dan benci kezaliman;11) kuat pendirian; dan 12) tidak terikat pada materi dan
uang.
2.
Lawan
Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah
al-Fadhilah)
Disampingg
negara utama yang dikemukakan al-Farabi di atas terdapat pula empat macam
negara yang rusak, yang bertentangan dengan Negara Utama, yaitu:
1) Negara
bodoh (al-Madinah al-Jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal
kebahagiaan, dan kebahagiaan ini tidak pernah terlintas dalam hatinya. Kalaupun
diingatkan, mereka tidak mempercayainya. Kebaikan menurut mereka yaitu badan
sehat, harta yang cukup, dapat merasakan kesenangan lahiriah, sedangkan
kebalikan dari hal tersebut adalah kesengsaraan.
2) Negara
fasik (al-Madinah al-Fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal
kebagahagiaan, Tuhan dan akal, seperti penduduk negeri utama. Akan tetapi,
tingkah laku mereka sama dengan tingkah laku negara bodoh. Dengan demikian, apa
yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang mereka ucapkan.
3) Negara
sesat (al-Madinah al-Dhallah), yaitu negara yang penduduknya mempunyai
pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal. Meskipun demikian, kepala
negaranya menganggap bahwa dirinya mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain
dengan ucapan dan tingkah lakunya.
4) Negara
yang berubah (al Madinah al-Mutabaddilah) adalah negara yang pada awalnya
mempunyai pikiran yang sama seperti pemikiran penduduk negera utama, akan
tetapi kemudian mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman yang
membawa mereka kepada kerusakan pada pikirannya.
Negara
sebagaimana tersebut di atas sebenarnya hanya ada dalam khayalan Al Farabi,
sehingga terlihat bahwa konsepsi-konsepsi politiknya lebih banyak bersifat
teoretis daripada realistis-pragmatis. Hal ini memang dapat dimaklumi karena ia
sendiri hanyalah seorang ahli pikir yang dalam dan luas.
C.
Al-Mawardi
Setting
Sosial Politik Al-Mawardi
Abu al-Hasan Ali ibn
Habib al-Mawardi, demikian nama lengkap al-Mawardi, (364-450/974-1058 M),
dilahirkan di Basrah, Irak. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana
dan kondisi disintegrasi politik dalam pemerintahan daulat bani Abbas. Pada
masa itu, Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan bani Abbas tidak mampu
membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri
dari bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini akhirnya memunculkan
dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaan bani
Abbas. Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah bani Abbas sangat lemah.
Mereka menjadi boneka dari ambisi politik dan persaingan antara pejabat-pejabat
tinggi negara dan para panglima militer bani Abbas. Khalifah sama sekali tidak
berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang berkuasa adalah para menteri
bani Abbas yang pada umumnya bukan berasal dari bangsa Arab, melainkan dari
bangda Turki dan Persia.
Pemikiran
Politik al-Mawardi
Menurut
al-Mawardi, imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam
rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia.
Al-Mawardi berpendapat
bahwa pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsure, yaitu ahl al-ikhtiyar atau orang yang berwenang untuk memilih kepala negara, dan ahl al-imamah atau orang yang berhak
menduduki jabatan kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil,
mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas
serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk
negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu:
adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya
kemampuan menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi
wilayah kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku
Quraisy. Ahl al-ikhtiyar inilah yang
dalam teori al-Mawardi disebut ahl
al-hall wa al-‘aqd (orang-orang yang dapat melepas dan mengikat). Kepala
negara dipilih berdasarkan kesepakatan mereka.
Menurut
al-Mawardi, secara garis besar ada sepuluh tugas dan kewajiban kepala negara
terpilih[4],
yaitu: 1) memelihara agama; 2) melaksanakan hukum di antara rakyatnya dan
menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan
teraniaya; 3) memelihara keamanan dalam
negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan
aman; 4) menegakkan hudud; 5) membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi
negara dari serangan musuh; 6) melakukan jihad terhadap orang yang menolak
ajaran Islam setelah diajak; 7) memungut harta fai’ dan zakat dari orang yang wajib membayarnya; 8)
membagi-bagikannya kepada yang berhak; 9) menyampaikan amanah; dan 10)
memerhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya
terhadap mesyarakat dan pemeliharannya terhadap agama.
Namun
demikian, al-Mawardi juga menegaskan kemungkinan tidak bolehnya umat taat
kepada kepala negara apabila pada dirinya terdapat salah satu dari tiga hal,
yaitu: 1) menyimpang dari keadilan (berbuat fasik); 2) kehilangan salah satu
fungsi organ tubuhnya dan 3) dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau ditawan
oleh musuh.
Menurut
al-Mawardi, ada dua kemungkinan akibat bila kepala negara dikuasai oleh
orang-orang dekat atau para “pembisiknya”. Kalau orang-orang dekatnya
menguasainya tetapi masih menjalankan kebaikan dan tidak menyusahkan rakyat, maka
kepala negara tetap dibiarkan dalam jabatannya. Tetapi, bila tindakan dan
perbuatan orang-orang dekatnya sudah menyimpang dari agama dan keadilan, maka
mereka harus ditindak. Demikian juga kalau kepala negara ditawan musuh dan
tidak dapat melepaskan diri, maka umat Islam harus segera mencari penggantinya
untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga tidak terjadi kevakuman politik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Ibnu Arabi
Beberapa hal pemikiran
ibnu Arabi yang menunjukkan tentang aliran yang beliau jalankan sebagaimana
berikut :
a) Wahdatul Wujud
Wahdat al-wujud adalah
ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal
atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud
berarti kesatuan wujud. Menurut ulama klasik ada yang mengartikan wihdah
sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih
kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan
antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang
tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.
b) Insan Kamil
Dalam konsep insan kamil
merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila Muhammad mati sebagai tubuh,
namun nur Muhammad tetap ada. Sebab dia sebagian dari tuhan. Insan kamil
tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau
akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Ø Al Farabi
Adapun
dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara, antara
lain: 1) lengkap anggota badannya; 2) baik daya pemahamannya; 3) tinggi
intelektualitasnya dan kuat daya ingatannya; 4) cerdik dan pintar; 5) pandai
mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; 6) cinta kepada ilmu
pengetahuan; 7) tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani; 8) cinta kejujuran
dan benci kebohongan; 9) berjiwa besar dan berbudi luhur; 10) cinta keadilan
dan benci kezaliman;11) kuat pendirian; dan 12) tidak terikat pada materi dan
uang.
Ø Al Mawardi
Menurut
al-Mawardi, secara garis besar ada sepuluh tugas dan kewajiban kepala negara
terpilih, yaitu: 1) memelihara agama; 2) melaksanakan hukum di antara rakyatnya
dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan
teraniaya; 3) memelihara keamanan dalam
negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan
aman; 4) menegakkan hudud; 5) membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi
negara dari serangan musuh; 6) melakukan jihad terhadap orang yang menolak
ajaran Islam setelah diajak; 7) memungut harta fai’ dan zakat dari orang yang wajib membayarnya; 8)
membagi-bagikannya kepada yang berhak; 9) menyampaikan amanah; dan 10)
memerhatikan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya
terhadap mesyarakat dan pemeliharannya terhadap agama.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad,
(2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Aufa, (2016). Ibnu Arabi (Corak Pemikiran Ibnu Arabi),
https://diaryofaufa.blogspot.co.id. Diakses tanggal 14 Aprill 2018.
[1]
Aufa, Ibnu Arabi (Corak Pemikiran
Ibnu Arabi), https://diaryofaufa.blogspot.co.id. Diakses tanggal 14 Aprill 2018
[2]
Muhammad Iqbal. (2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, Cet,
ke-2, hal.11
[3]
Ibid., hal. 13
[4]
Ibid., hal. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar